Staf khusus Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Yustinus Prastowo, menjelaskan alasan pemerintah menjadikan natura atau imbalan dalam bentuk non-uang bagi karyawan menjadi objek pajak.
Menurut dia selama ini fasilitas-fasilitas tersebut kerap dinikmati oleh para pegawai level atas dan tidak kena pajak, misalnya dalam bentuk fasilitas mobil dan rumah. Di sisi lain, ia melihat karyawan biasa justru seluruh penghasilannya menjadi objek pajak.
“Mengapa natura (imbalan dalam bentuk non uang) menjadi objek pajak? Begini ya, selama ini high level employee yang menikmati fasilitas ini (mobil, rumah) dan tidak dikenai pajak. Sedangkan karyawan biasa (menengah-bawah) justru seluruh penghasilan menjadi objek pajak. Tidak adil kan?” ujar Prastowo dalam cuitan di akun twitter @prastow, Jumat, 5 November 2021.
Prastowo pun mengunggah gambar berisi data. Ia mengatakan, berdasarkan data tersebut, bahwa natura dinikmati oleh mereka yang berpenghasilan di atas Rp 500 juta per tahun. Karena itu, natura perlu menjadi objek pajak untuk memenuhi rasa keadilan.
“Demi memenuhi rasa keadilan, justru ini menjadi objek PPh. Bagi yang menengah-bawah dan kondisi tertentu diberi pengecualian. Jadi tak perlu khawatir ya teman-teman,” kata Prastowo.
Ia pun mengatakan bahwa kebijakan tersebut adalah penegasan prinsip ‘taxable-deductible’. Artinya, natura yang menjadi penghasilan bagi penerima atau pegawai adalah biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan oleh pemberi atau perusahaan.
Sebelumnya, Pemerintah bakal mengenakan pajak atas natura atau kenikmatan. Natura yang dimaksud misalnya adalah fasilitas-fasilitas yang diberikan oleh perusahaan kepada pegawainya.
“Jadi fasilitas tadi akan dianggap sebagai penghasilan dan di perusahaan dapat dibebankan sebagai biaya,” ujar Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal di Kantor Pelayanan Pajak Madya Denpasar, Rabu, 3 November 2021. Ketentuan tersebut termuat dalam Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Selama ini, kata Yon, fasilitas perusahaan tidak dianggap penghasilan dan tidak masuk ke dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak alias SPT. Di perusahaan pun fasilitas tersebut tidak dapat dibebankan sebagai biaya.
“Jadi contohnya misalnya orang yang memiliki 13 perusahaan tidak perlu menerima gaji, tapi bisa meminta fasilitas seperti mobil dan rumah ke perusahaan. Untuk yang menerima fasilitas tersebut dalam bentuk bukan uang, jadi bentuknya natura atau kenikmatan, artinya tidak memiliki penghasilan,” kata Yon.
Dengan ketentuan anyar di Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, fasilitas-fasilitas tersebut akan masuk ke dalam SPT sebagai penghasilan. Yon belum merinci formula untuk menghitung penghasilan dari natura atau fasilitas yang diterima pegawai itu.
Namun, ia mencontohkan nilai tersebut dapat diasumsikan sebagai tarif sewa untuk fasilitas yang diterima dan biaya perawatannya. Kendati demikian, pemerintah mencantumkan lima jenis natura tertentu yang bukan merupakan penghasilan bagi penerima.
Lima natura tersebut antara lain penyediaan makan atau minum, serta bahan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai. Selain itu, natura di daerah tertentu. Selanjutnya, natura karena keharusan pekerjaan. Contohnya, alat keselamatan kerja atau seragam.
Natura yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa juga bukan merupakan penghasilan bagi penerima. Terakhir, natura dengan jenis dan batasan tertentu juga akan dikecualikan dalam ketentuan tersebut.
CAESAR AKBAR